Loading...
Sunday, February 6, 2011

[Dongeng] Peri Hujan Yang Bersedih

PERI HUJAN YANG BERSEDIH
Oleh : Rae Sita Patappa

Aku adalah peri hujan. Aku bertugas membantu Dewi Cuaca membagikan hujan di kotamu. Hanya di kotamu. Karena di tempat lain, ada peri hujan lain yang bertugas.

Sore ini aku bertugas untuk menurunkan hujan. Aku berdiri di pucuk sebuah pohon akasia dan mengamati luas daerah yang akan kuberi hujan. Saat itu aku mendengar sesuatu ...

“Lihatlah, langit tertutup awan mendung. Sebentar lagi pasti akan turun hujan lebat,” ujar seorang anak perempuan kepada temannya.

“Huh, hujan terus,” kata gadis kecil berbando biru.

“Kenapa? Apa kau membenci hujan?” tanya temannya yang berkepang.

Lalu si Bando Biru berkata, “Apa kau tahu? Setiap turun hujan, Mama mengomel karena jemuran pakaian tidak kering. Papa juga menggerutu karena harus mencuci motor lagi. Dan kakak, akan cemberut karena saat pulang sekolah ia basah kuyup.”

“Oh ya? Aku juga sering dengar dari pamanku, beberapa bulan ini hujan menyebabkan banjir di mana-mana,” kata si Kuncir lagi.

Aku tertegun mendengar mereka. Apa manusia sangat membenciku?

Setelah lama berpikir, aku memutuskan untuk tidak menurunkan hujan hari itu. Akan kulaporkan pada Dewi Cuaca bahwa aku sudah melakukannya. Aku memang berbohong. Itu karena aku tak mau dibenci siapapun.
Sejak hari itu aku selalu berbohong pada Dewi Cuaca. Ia mungkin tak tahu karena tak pernah menungguiku sampai selesai bertugas.

Pada hari yang kesepuluh, seperti biasa aku pulang ke puri awanku setelah berkeliling di kotamu. Saat itulah aku bertemu Dewi Cuaca.

 “Apa tugasmu sudah selesai?” tanyanya ramah.

Aku hanya mengangguk dan tak berani menyahut.

“Lalu kenapa sayapmu terlihat begitu kusam dan berdebu? Jika seorang peri benar-benar sudah melaksanakan tugasnya, maka sayapnya akan  terlihat biru berkilau karena basah oleh air hujan.”
Aku terkejut karena tak menyangka Dewi Cuaca akan mengamati itu.

“Maafkan aku, Dewi,” kataku sambil menangis. Lalu kuceritakan alasanku melakukan itu semua. Dewi Cuaca mendengar ceritaku sambil memelukku.

Setelah aku selesai bercerita, Dewi Cuaca  mengajakku terbang ke istananya. Ia membawaku duduk di tepi danau besar berwarna biru di tengah istana. Permukaan danau itu terbagi-bagi dalam petak-petak yang tak terhingga jumlahnya.

“Akan aku tunjukkan mengapa beberapa bulan ini bencana banjir terjadi, dan kitalah yang sering disalahkan,” katanya.

Dewi Cuaca mengayunkan tongkatnya. Danau itu kini hanya terdiri dari empat petak besar. Ia membuka petak pertama dan terlihat gambar beberapa orang membuang sampah di sungai dan selokan.

“Ini sebab pertama,” katanya dengan wajah sedih. “Air hujan yang jatuh seringkali tak bisa mengalir ke tempat yang seharusnya. Itu karena banyak sampah bertumpuk. Saluran air tersumbat hingga air meluap ke darat.”

Lalu dia membuka petak kedua.

“Ini sebab kedua,” katanya sambil menunjukkan gambar hutan-hutan yang ditebang hingga terlihat gundul.
“Tanpa ada akar sebagai penyerap dan penahan air, maka air akan tercurah seperti jatuh dari sebuah pancuran. Saat itu bisa terjadi banjir lumpur yang membawa batu-batu besar yang sangat  berbahaya.”

“Tapi aku masih saja merasa bersalah,” kataku padanya.

Dewi Cuaca membelai kepalaku.

“Tentu saja tidak,” katanya dengan senyum lebar sambil membuka petak ketiga. “Lihat, meski di rumah ini sebagian besar penghuninya menggerutu, namun ada juga orang-orang yang gembira. Itu karena mereka bisa mengisi penampungan air mereka yang hampir kering. Tidak adil kan, kalau hujan tak diturunkan hanya demi satu rumah ini. Ya kan?”

Akhirnya aku bisa merasa lebih lega.

“Lalu apa isi petak ke empat?” tanyaku penasarn.

Sang Dewi membukanya. Lalu di sana aku melihat dua gadis kecil yang kujumpai waktu itu. Mereka sedang termenung di depan sebuah  kuncup kecil bunga kembang sepatu.

Salah satunya berkata,” Aku rindu hujan. Rasanya sudah lama ia tak turun.”

“Ya,” jawab yang satunya. Ia mengusap ujung matanya yang sedikit basah. “Jika sehari lagi hujan tak datang, bunga ini pasti akan mati.”

Aku kemudian menatap Sang Dewi untuk meminta persetujuan. Ketika ia mengangguk aku segera mengembangkan kedua sayapku dan terbang. Aku ingin segera menjalankan tugasku untuk menurunkan hujan.

Nah, jika ada temanmu yang mengeluh karena di kotanya sedang dilanda kemarau  panjang, tanyakanlah padanya, apakah ia pernah berkata ‘Aku benci hujan!’ Mungkin saja ucapannya itu menyebabkan peri hujan di kota itu bersedih.

(Juara II, Lomba Menulis Dongeng Bobo, tahun 2003)

12 komentar:

Aira Kimberly said...

Yeehaw! Manstab deh dongengnya! ^__^

rae sita said...

Terima kasih, Air.. ^^ (saya sering lho terinspirasi air saat membuat cerita.. hehe)

Sri Widiyastuti said...

Kereeennn mba Rae Sita.....suka deh dengan kisahnya...*pecinta air juga

diet enak said...

Terima kasih. Anakku sudah terlelap sekarang. Cerita yang bagus, banyak pembelajaran. Anakku pernah tanya, "kenapa ada hujan yah?". Aku jawab hujan untuk menyiram tanaman sayang.. Dengan lugunya dia bilang "kakak juga bisa siram tanaman, nggak pake hujan". Lalu aku bertanya kembali, lalu siapa yg akan siram tanaman di hutan sayang? Dia sedikit mikir kemudian senyum lega...

ajiek
http://dietENAK.com

Izzah Annisa said...

Kereeennn.... :)

Liez said...

ceritanya bagus. anak-anak pasti suka. pulang nanti mau saya sampaikan ke krucil.

Unknown said...

Ini bermanfaat sebagai didikan :)

Unknown said...

Ini bermanfaat sebagai didikan :)

budi said...

ayo..
nanam tanaman..
jangan ditebangi tros ya..

Anonymous said...

Sangat terinspirasi dan mendidik

Unknown said...

Waaa kereennn

Anonymous said...

Bagus sekali

 
TOP