"True creativity often starts where language ends."
-- Arthur Koestler (1905–83), Hungarian-born British novelist, essayist.
-- Arthur Koestler (1905–83), Hungarian-born British novelist, essayist.
Pernah berbaring di rerumputan bersama anak-anak, memandangi langit pagi yang digelayuti makhluk-makhluk lucu terbuat dari awan? Atau duduk di sekitar api unggun, menikmati kelindan liar antara panas, asap, bunyi keretak, dan warna?
Apa yang kita lihat--awan dan api--biasa dilihat juga oleh orang lain. Tapi jika kita menemukan hal baru dan berbeda pada awan dan api, itulah kreativitas. Definisi dasarnya memang sederhana: Kemampuan membuat koneksi baru. Namun kreativitas bukan sekadar ide, melainkan juga tindak lanjut: mengevaluasi, lalu mewujudkan gagasan itu menjadi sesuatu.
Percaya atau tidak, kreativitas adalah bawaan lahir. Sama seperti kita lahir dengan kemampuan untuk tertawa, kita juga membawa kemampuan untuk mengekspresikan kebahagiaan dan kedukaan dengan hati dan tangan. Meskipun kreativitas dimulai dengan sebuah gagasan, biasanya ia akan ditransformasikan menjadi tindakan oleh tangan kita. Bagi penulis tentunya, kreativitaslah yang menjaga jemarinya tetap bergerak di atas keyboard. Kreativitas itu adalah inner helper, bagaikan a genie, a mentor, a guardian angel, yang dijadikan satu dan sangat bisa diandalkan.
Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak menyadari keberadaannya di dalam diri kita sendiri. Kita sering terkagum-kagum membaca tulisan orang lain: "Kok bisa ya dia menulis cerita sekreatif ini...."
"Idenya padahal sederhana, semua orang sudah tahu, tapi kenapa dia bisa menuangkannya menjadi cerita yang benar-benar baru?"
"Kok aku nggak kepikir sampai ke situ ya?" dst.
Tapi alih-alih membangunkan kreativitas dalam diri, kita cenderung berkutat dengan cara yang sama dalam menghadapi hantu yang sama, writer's block.
Akrabi kreativitas dalam diri dan semua yang bisa diberikannya kepada kita. Caranya? Ambil risiko, keluar dari cara-cara lama, think outside the box, fleksibel, spontan, coba saja, lepaskan segala rutinitas, aturan, teori, yang sering membuat kita stuck, tanggapi situasi dengan cara-cara baru.
Adakah cara lain untuk memudahkan kita memasukkan benang ke dalam lubang jarum tanpa harus menjilat ujung benang? Bisakah kita memikirkan 100 fungsi lain dari gantungan baju yang terbuat dari kawat? Bagaimana kalau preman kita gambarkan berpenampilan seperti kyai? Sudah pernah mencoba bungee jumping? Belum? Aku juga belum. Tak punya nyali. Tapi apakah itu berarti kita tidak boleh menulis sesuatu tentang bungee jumping? Kenapa masih berkutat dengan nasi yang sudah jadi bubur, menangisi susu tumpah, kalau pribahasa dan perumpamaan buatan sendiri lebih mengena? Contohnya, "Terlambat, rambut sudah dicukur." (Rambe dalam Negeri Bawah Air, oleh Ary Nilandari)
Kecerdasan kadang tidak mampu memecahkan masalah, tetapi kreativitas bisa. Kreativitas memberi kita energi, renjana, dan makna dalam hidup. Membuat kita merasa lebih berdaya, lebih mampu mengatasi hambatan. Kreativitas itu fun, orang kreatif lebih banyak mendapatkan kegembiraan dalam kegiatan sehari-hari. Kreativitas juga sehat, dibuktikan oleh riset otak terkini. Kreativitas adalah sumber inspirasi kita. Dari sanalah "Aha" moments itu muncul: terobosan, kerlip ide cemerlang, dan yang terbaik adalah wisdom.
Jadi, why not?
Kalau kebanyakan orang menokohkan kelinci yang lucu, imut, baik hati, lemah, cerdik, kenapa tidak kita jadikan si kelinci tokoh antagonis yang jahil dan tamak? Protagonisnya justru buaya atau harimau? Sudah ada? Oke, cari yang lain lagi. Binturong? Kenapa tidak kita tokohkan binatang yang langka atau sudah punah tapi bukan si dino?
Kalau kebanyakan orang menulis dengan sudut pandang aku atau dia, kenapa tidak kita ambil kau? Sudut pandang manusia terhadap dunia manusia dan dunia hewan sudah biasa, kenapa tidak kita coba sudut pandang hewan terhadap dunia manusia? Kisah manusia yang dituturkan seekor ayam, misalnya, atau kecoa? (Garth Stein dalam The Art of Racing in the Rain menggunakan sudut pandang Enzo, seekor anjing)
Umumnya, cerita itu runut: pembuka, tengah, penutup. Atau pengantar, konflik, penyelesaian. Bagaimana kalau diacak? Mulailah dengan penutup atau penyelesaian. Mulai dengan fakta akhir yang mengentak seperti Gail Gilles dalam Shattering Glass. Misalnya,
Dia rubuh dengan pisau tumpul itu menancap di punggungnya. Aku mendesah lega.
Peri lagi, monster lagi, ogre lagi, dst... ciptakan makhluk baru. Why not?
Cerita misteri dan detektif untuk anak? Semua kasus rasanya sudah pernah ditulis orang? Kenapa tidak menulis tentang gagasan yang dicuri? Gagasan yang tersimpan rapi di otak, bahkan belum sempat diungkapkan kepada siapa pun, eh tahunya ada teman sekelas yang memaparkan gagasan itu di depan kelas? Bagaimana mungkin sampai detailnya pun sama?
Banyak dunia bisa diekplorasi. Masa lalu, masa depan, luar angkasa, dunia paralel, dunia mikro (seperti Morris Gleitzman dalam Worm Story yang menokohkan cacing perut dengan setting tempat alat pencernaan), dunia dalam sekuntum bunga (jadi ingat Horton Hears a Who--Dr.Seuss), dunia buatan sendiri (seperti Nibiru--Tasaro), dan masih banyak lagi setting tempat dan waktu lainnya. Jangan terpaku pada here and now.
Daftarnya masih panjang. Silakan teman-teman pikirkan. Bangunkan kreativitas itu. Tambahkan dalam list ini. Tak apa kalau baru berupa gagasan. Tindak lanjut menyusul segera.
Selamat berkarya dengan kreativitas mendampingi kita pagi ini....
[Creativitiy] is like driving a car at night. You never see further than your headlights, but you can make the whole trip that way.
--E. L. Doctorow (b. 1931), U.S. novelist.
--E. L. Doctorow (b. 1931), U.S. novelist.
1 komentar:
Heello mate great blog
Post a Comment