Loading...
Sunday, February 6, 2011

[cerpen] Menanti Kata-Kata

Menanti Kata-Kata
Oleh Maria Wiedyaningsih
(Lomba Mengarang Cerpen Bobo 2005)

“P-p-pa-g-gi, W-wi,” sapa Nia terbata. Selalu seperti itu.

Aku tersenyum. “Pagi juga,” sahutku ceria. “Sudah mengerjakan PR matematika?”

Hm, pertanyaan yang tak perlu. Dia anak yang paling rajin yang pernah kukenal.

“S-su-dah,” jawabnya.

Setelah itu aku tak bertanya-tanya lagi. Kami berjalan menuju kelas dalam diam. Mungkin itu akan membuatnya lebih nyaman.

Nia memang gagap. Selalu mengatakan sesuatu dengan terbata-bata. Rasanya setiap orang kagum pada kepintarannya, si juara kelas ini. Hanya saja, tidak banyak yang sabar menanti kata-katanya. Daripada kesal menanti lamanya dia menjelaskan sesuatu, banyak anak yang memilih menghindarinya.

Kami sampai di kelas. Nia menuju tempat duduknya. Kulihat Wina menuju bangku Nia. Aku tahu, Wina tak pernah suka berbicara lama-lama dengan Nia.

“Aku mau pinjam buku Menjelajah Ruang Angkasa,” ujar Wina tanpa basa-basi pada Nia. “Adikku ingin membaca lagi.”

“Y-y-yang m-ma-...?”

“Tentang matahari,” tukas Wina cepat cepat.

“S-se-dang d-dip-pinj-jam L-li ...”

“Lina?” potong Wina lagi.

“B-bu-k-kan,” jawab Nia.

“Lidya?”

Nia menggeleng. Sambungnya, “L-li-li-k-ka.”

“Lika anak kelas empat?

Nia mengangguk.

“Aku pinjam setelah Lika,” Wina mengakhiri percakapan. Tanpa menunggu jawaban Nia, dia segera berlalu. 

Selalu seperti itu. Wina tidak sabar dengan kata-kata Nia dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Tapi biasanya itu malah membuat Nia gugup dan tambah lama mengucapkan sesuatu. Hampir semua anak bersikap begitu. 

Wina mendatangiku. “Huh, stress deh kalau ngomong sama Nia,” gerutunya.

“K-k-ka-m-mu j-ja-ngan b-be-g-gitu, d-dong,” Bagus menirukan Nia, membuatku sebal.

Selalu seperti itu. Olok-olok yang sama. Menyebalkan sekali mereka mengolok-olok Nia seperti itu, meski tak dilakukan di depannya. Bukankah Nia selalu baik pada mereka? Selalu bersedia menolong siapa saja? Aku yakin setiap orang di kelas ini pernah merasakan kebaikan Nia.

Menurutku, bicara dengan Nia memang melelahkan. Kadang aku juga tergoda membicarakan kekurangannya itu di belakangnya. Tapi, setiap kali, aku ingat semua kebaikannya. Dia yang selalu mengajariku jika aku kesulitan mengerjakan PR. Menghibur saat aku sedih. Menurutku, kita tidak bisa menerima kebaikan seseorang dan membicarakan kejelekannya di belakangnya sekaligus.

Dalam pelajaran bahasa Indonesia, Bu Tanti memberi tugas yang pasti mengejutkan buat Nia. “Kalian buat puisi, nanti dibacakan di depan kelas, empat minggu lagi. Temanya bebas,” kata Bu Tanti.

Waktu yang diberikan Tanti lama sekali, hanya untuk membuat sebuah puisi. Apa ya, maksud Bu Tanti?

Aku segera melupakan hal itu ketika kulihat beberapa anak tersenyum. Diam-diam mereka mencuri pandang pada Nia. Kulihat Nia tertunduk cemas.

Empat minggu kemudian, kami sudah siap maju ke depan kelas, dengan puisi masing-masing. Mungkin setiap anak agak tenang. Karena biarpun puisi mereka tidak bagus, saat dibaca nanti, mungkin puisi Nia yang terdengar paling jelek.

Sebenarnya aku tidak mau berpikiran seperti itu. Jadi kalau ada yang puisinya lebih jelek dariku, aku lega sekali.

Seperti kuduga, tidak ada yang tertarik ketika aku membacakan puisi di depan kelas. Tapi aku lega karena sudah mendapat giliran. Beberapa saat kemudian, nama Nia dipanggil. Dia menghela nafas dan berkonsentrasi sebelum berdiri. Tiba-tiba aku merasa telah demikian jahat padanya. Dia temanku, apakah pantas aku mengharap dia melakukan sesuatu dengan jelek?

Sungguh, saat ini aku berdoa, agar kami tak harus menanti kata-katanya. Aku berharap dia membaca puisi dengan lancar, sebagus-bagusnya. Aku tak peduli jika aku kelihatan lebih jelek dari Nia, atau bahkan terjelek di kelas.

Aku tahu, seluruh temanku, mungkin juga Bu Tanti, sedang berdebar menunggu. Dan Nia mulai membaca.

Terima kasih, Sahabat
Awal dan akhir kata
Terasa terpisah sangat jauh
Tapi kau selalu sabar menanti
Saat aku berusaha menyatukannya
Kau mau berjalan denganku
Saat kau bisa berlari bersama yang lain
Kalau ada yang bisa kuungkapkan
Pasti rasa terima kasih yang dalam
Terima kasih, Dewi, terima kasih sahabat
Untuk selalu sabar menanti kata-kataku

Aku terpana. Seluruh kelas terpana. Aku tak tahu berapa lama Nia berlatih membaca puisi itu. Seberapa keras Nia berusaha menghilangkan gagapnya. Tapi, tidak sekalipun Nia tersendat.

Dalam beberapa baris pertama aku tidak tahu puisi itu untukku. Kusadari mungkin ada air menggenang di mataku. Tanpa sadar aku bertepuk. Dan tak kuduga, seluruh kelas mengikuti.

Aku tahu, mungkin setelah ini Nia akan kembali gagap. Atau mungkin tidak lagi. Tapi pasti teman-temanku tidak akan memperlakukan Nia dengan cara yang sama lagi. Sekarang aku bisa menebak kenapa Bu Tanti memberi kami waktu begitu lama. Agar Nia berusaha keras menghilangkan gagapnya. Nia berhasil! 

Mulai saat ini, jika aku bersikap baik pada Nia, aku akan melakukannya dengan tulus. “T-te-terima kasih,” bisikku terbata, saat dia lewat di sampingku. Tidak kusangka akan tiba saatnya Nia ganti menanti kata-kataku. “Itu puisi terindah yang pernah kudengar.”

Dan, Nia memberikan senyum termanisnya untukku.[]

0 komentar:

 
TOP