SIDIK JARI SANG PENCURI
Dwi Liana
Dwi Liana
Pagi itu sekitar pukul sembilan Udin, Usman, dan Iwan berjalan beriringan. Mereka bertiga sedang menuju kios tempat Kak Awang, kakak Iwan, bekerja. Mereka ingin mengantarkan Usman yang ingin melihat-lihat HP. Saat hampir sampai, mereka mendengar suara ribut-ribut.
”Pasti kamu pencurinya,” kata teman Kak Awang yang bertubuh kurus.”Yang memegang kunci kios ini hanya kamu dan Pak Willy. Tidak mungkin Pak Willy mencuri Hp di kiosnya sendiri, kan?” jawab teman Kak Awang yakin.
”Tapi, bukan aku pencurinya,” jawab Kak Awang keras.
”Mana ada pencuri yang mau mengaku,” jawab teman Kak Awang sambil berlalu keluar ruangan.
Udin, Usman, dan Iwan mempercepat langkah. Saat sampai, Iwan langsung bertanya, ”Ada apa Kak?”
Kak Awang terduduk lemas di kursi, wajahnya pucat. Kepalanya tertunduk. Tubuhnya merosot ke bawah. Lama Kak Awang tidak menjawab pertanyaan dari Iwan. ”Ada HP yang hilang,” jawab Kak Awang akhirnya.
”Hah, siapa yang ngambil, Kak?” Iwan bertanya dengan nada terkejut.
”Kakak tidak tahu,” jawab Kak Awang lemah.
”Tadi, aku dengar teman Kakak menuduh Kakak pencurinya,” Udin mencoba menebak.
Kak Awang mengangguk, ”Hanya aku yang memegang kunci kios. Pintu kios tidak rusak. Beno yakin kalau orang dalam yang mencurinya. Itu sebabnya ia menuduh aku pencurinya.”
”Benar juga perkiraan Kak Beno. Kalau pencuri itu tidak memegang kunci bagaimana dia bisa masuk?“ tanya Udin pada diri sendiri. ”Kak, apa aku boleh masuk,” Udin meminta izin untuk masuk ke dalam kios.
”Masuk saja tidak apa-apa,“ jawab Kak Awang.
Udin melihat-lihat ke dalam, Usman mengikuti Udin untuk masuk ke dalam. Ruangan kios yang tidak terlalu besar itu langsung penuh.
”Kapan Kakak mengetahui kalau Hp itu hilang?” tanya Udin.
”Saat tadi pagi aku datang, Hp itu sudah tidak ada,” jawab Kak Awang.
”Terakhir yang berada di kios siapa, Kak?” tanya Udin.
”Aku,“ kata Kak Awang. ”Hari itu kios tutup lebih cepat karena aku dan Beno ada keperluan masing-masing. Sebelum pulang, aku membersihkan kaca karena ada banyak bekas gelas teh. Aku membersihkan semua kaca etalase, agar semua kelihatan bersih. Lalu, aku mengunci pintu dan pulang,” cerita Kak Awang.
Udin tercenung sejenak, lalu bertanya, ”Apa setelah Kak Awang bersihkan, sudah ada orang yang membuka kaca etalase ini, Kak?”
”Aku tidak tahu. Tapi, sejak aku dan Beno datang tadi pagi, tidak ada salah satu dari kami yang membuka kaca etalase itu. Saat aku mengetahui ada HP yang hilang, kami langsung berdebat.”
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata teman Kak Awang yang bernama Beno kembali.
”Hei, Wang!! Suruh adikmu dan teman-temannya ini pulang. Nanti, kalau sampai ada HP yang hilang lagi, aku tidak mau tanggung jawab,” katanya ketus. ”Aku mau keluar sebentar. Saat aku kembali nanti, aku tidak ingin melihat mereka di sin!” lanjutnya sambil meraih tasnya yang ada di lantai sudut ruangan. Ia merogoh bagian depan tasnya untuk mengambil kunci. Saat menarik tangannya dari dalam tas, tanpa sengaja ia mengeluarkan secarik kertas. Usman yang berada di dekatnya mencoba memberi tahu, tetapi yang dipanggil tidak peduli dan langsung mestater motor dan pergi. Usman mengambil kertas kecil itu dan membaca tulisan yang tertera di sana, SPESIALIS DUPLIKAT KUNCI.
”Kak coba baca ini,” kata Usman kepada Kak Awang.
Kak Awang tertegun sejenak. ”Apa mungkin Beno menduplikat kunci pintu kios?” tanyanya sambil memandang ke arah Usman.
”Untuk membuktikannya kita bisa ke sana, Kak. Tanggal yang tertera di situ baru kemarin,” jawab Usman.
”Bisa saja tukang duplikatnya lupa. Dalam sehari dia kan tidak hanya menduplikat satu kunci,” jawab Iwan.
”Kita bisa ke sana dengan Kak Beno,” jawab Usman.
”Mana mungkin dia mau,” sanggah Udin.
Semua terdiam karena merasa menemui jalan buntu. ”Tunggu di sini sebentar. Aku akan pulang dan kembali lagi. Semoga ini bisa menjadi kunci untuk membuktikan bahwa bukan Kak Awang pencurinya,” kata Udin.
Udin yang rumahnya tidak jauh dari kios Kak Awang berlari pulang. Tak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa bedak tabur, dua buah pinsil, silet, kuas untuk melukis, dan serutan pensil.
”Untuk Apa, Din?” tanyaUsman.
”Kita akan lihat sidik jari siapa yang ada di kaca etalase ini. Kalau Kak Awang kemarin sore membersihkan kaca etalase maka sidik jari yang tertinggal di kaca etalase ini adalah sidik jari pencurinya,” kata Udin mantap.
Udin meminta tolong Usman untuk membantunya meraut pensil. Lalu, ia mengerik bagian hitam pensil dan mencampurnya dengan bedak di atas sehelai kertas. Ia meniup-niup serbuk itu di kaca yang ada bekas sidik jarinya.
”Sekarang, kita bandingkan sidik jari ini dengan milik Kak Awang. Boleh aku pinjam SIM, Kakak?” tanya Udin.
Kak Awang mengeluarkan SIM miliknya. Udin membandingkannya dengan sidik jari yang ada di kaca etalase, ternyata berbeda.
”Sekarang kita tinggal meminjam SIM milik Kak Beno, kalau sidik jarinya ternyata sama dengan yang ada di sini, berarti dia pencurinya,” kata Udin.
”Tapi, bagaimana kalau Kak Beno tidak mau meminjamkan SIM-nya?” tanya Usman.
Semua terdiam. Tiba-tiba Kak Awang berkata, ”Mungkin kita bisa membandingkan sidik jari itu dengan sidik jari Beno yang ada di fotokopi ijasah Beno yang ada di lamaran kerja.”
Kak Awang segera membuka satu-satunya lemari susun yang ada di ruangan itu. Ia mengeluarkan sebuah map dan mengambil ijazah Kak Beno, lalu menyerahkanya kepada Udin.
”Sama!!” kata Udin nyaris menjerit.
”Beno yang mencuri HP?” Kak Awang merasa tidak percaya.
Dari kejauhan terlihat motor Kak Beno. Ia masuk dengan wajah kesal, ”Kalian belum pergi juga? Sekarang, cepat pergi sebelum aku memarahi kalian,” katanya.
”Sebentar Ben,” kata Kak Awang. ”Kapan kamu terakhir masuk ke kios ini?”
Kak Beno terkejut dengan pertanyaan Kak Awang. ”Kenapa? Kamu menuduh aku? Aku tidak membawa kunci kios, jadi aku tidak mungkin bisa masuk,” kata Kak Beno santai.
”Kamu memang tidak membawa kunci. Tapi, kamu bisa membuat duplikatnya,” jawab Kak Awang mantap.
Wajah Kak Beno langsung memucat. ”Apa buktinya kalau aku menduplikat kunci?”
”Kertas ini terjatuh waktu tadi Kak Beno mengambil kunci,” Usman menjelaskan sambil menunjukkan kertas nota yang tadi ia temukan.
”Darimana kalian tahu kalau aku menduplikat kunci kios?” tanya Kak Beno mencoba menutupi kegugupannya.
”Kita bisa ke tempat duplikat kunci itu bersama-sama dan menanyakannya pada tukang duplikatnya,” kata Iwan.
”Aku tidak mau,” jawab Kak Beno.
”Kami punya bukti lain,” kata Udin. ”Kemarin sebelum pulang, Kak Awang membersihkan semua kaca etalase. Tapi, aku melihat ada sidik jari yang tertinggal di kaca. Aku yakin, itu sidik jari pencurinya. Pencuri itu masuk setelah Kak Awang pulang. Dan, sidik jari itu sama dengan sidik jari yang ada di ijazah Kak Beno. Kalau ijazah Kak Beno asli, pasti itu sidik jari Kak Beno, bukan?” Udin mencoba menjelaskan hipotesanya.
Kak Beno langsung kalap. ”Anak-anak kurang ajar. Menuduh aku pencuri. Keluar kalian!!” usirnya kasar.
”Aku bisa memanggil Pamanku yang seorang polisi. Ia pasti mau membantu menyelesaikan kasus ini,” Udin mencoba menakut-nakuti Kak Beno.
”Sudahlah Ben. Kita bisa membicarakan ini dengan kepala dingin. Aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya yang mencuri HP. Kalau bukan kamu ya, sudah. Kamu tidak usah takut. Aku hanya ingin kejujuran dari kamu. Aku tidak ingin masalah ini sampai ke polisi,” Kak Awang mencoba menjelaskan.
Tiba-tiba Kak Beno yang tadinya garang menjadi lemah. Wajahnya pucat dan tubuhnya sedikit gemetar. ”Jangan lapor polisi. Aku yang mengambil HP itu,” katanya lemah.
”Kenapa Ben? Kenapa?” tanya Kak Awang tak percaya.
”Aku kesal karena kamu yang dipercaya memegang kunci kios, bukan aku,” jawab Kak Beno.
Kak Awang menatap Kak Beno dengan lembut,” Ben kalau kamu mau memegang kunci kios ini, aku akan bilang pada Pak Willy agar ia mempercayakan kunci ini padamu.”
”Tidak. Jangan Wang. Sekarang aku sadar, Pak Willy sudah memilih orang yang tepat. Maafkan Aku Wang,” jawab Kak Beno. ”Hp itu sekarang ada di rumahku. Aku akan mengambilnya.”
Saat Kak Beno pergi Kak Awang tersenyum cerah. ”Terima kasih Din, Man, juga kamu Iwan. Tanpa kalian aku tidak akan mengetahui siapa pencuri HP itu. Tapi, ngomong-ngomong, darimana kamu tahu cara menyocokkan sidik jari itu, Din?” tanya Kak Awang.
”Aku baca dibuku Kak. Sebenarnya aku tidak yakin kalau sidik jari itu benar-benar bisa djadikan bukti, tapi ternyata Kak Beno percaya.” kata Udin sambil meringis.
Akhirnya semua pun tertawa bersama.
(Pemenang 3 Lomba Cerpen Misteri Bobo tahun 2009)
0 komentar:
Post a Comment