99 PENGALAMAN
Oleh : Rae Sita Patappa
Oleh : Rae Sita Patappa
Suatu sore, di pinggir sebuah sungai yang indah. Kakek Cerah tertidur di bawah pohon yang teduh. Angin sepoi-sepoi dan suara gemerecik arus sungai membuat tidurnya semakin lelap.
Dua kereta kuda dari arah yang berlawanan, tiba-tiba berhenti di dekat pohon tersebut. Kakek Cerah terbangun.
Seorang pria berpakaian mewah turun dari kereta kuda yang besar. Sedangkan pria lain yang berpakaian sederhana turun dari kereta berukuran lebih kecil.
Keduanya menghampiri pohon di mana Kakek Cerah duduk bersandar. Di sebelah kiri Kakek Cerah, duduk pria berpakaian mewah, sementara di sebelah kanannya duduk pria berpakaian sederhana. Raut wajah keduanya terlihat lelah dan putus asa.
Kakek Cerah tersenyum lebar.
“Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian terlihat sangat sedih?” tanyanya.
Pria berpakaian sederhana menghela nafas berat.
“Aku baru saja pulang berdagang. Aku sudah berdagang sebanyak 99 kali. Dan dari 99 kali pengalamanku itu, aku selalu gagal. Tak pernah sekalipun berhasil. Sepertinya aku tak berbakat berdagang dan tak akan pernah berhasil sampai kapanpun. Aku akan berhenti saja,” keluhnya.
Kakek Cerah bergumam sambil mengangguk-angguk. Ia lalu bertanya pada pria berpakaian mewah. “Bagaimana denganmu?”
Pria berpakaian mewah tersandar lesu.
“Ini juga pengalaman berdagangku yang ke-99. Selama ini aku selalu sukses dalam berdagang. Oleh karena itu, pada bisnisku yang ke-99 ini aku menggunakan modal yang jauh lebih besar. Hampir seluruh hartaku kujadikan modal. Ternyata kali ini aku malah gagal. Aku bangkrut dan sudah tak ingin berdagang lagi,” kisahnya.
Kakek Cerah tak berbicara apa-apa.
Pria berpakaian mewah berdiri dan berjalan ke sungai untuk membersihkan muka. Kakek Cerah mengamati langkahnya yang terseok-seok.
Dia menoleh pada pria berpakaian sederhana yang sedang melamun di sebelahnya.
“Apa kau dengar pengalaman laki-laki itu?” tanyanya sambil tersenyum.
“Tentu saja aku mendengarnya,” jawab pria berbaju sederhana itu singkat.
“Nah, seharusnya kau lebih optimis,” ujar Kakek Cerah.
“Apa hubungannya denganku?” tanya pria itu heran.
“Dengar saja. Setelah selama ini selalu berhasil dalam berdagang, pada pengalaman ke-99, ternyata dia bisa juga mengalami kegagalan. Seharusnya kau percaya, bahwa setelah 99 kali kegagalan, kamu tetap punya kemungkinan berhasil pada pengalaman ke-100,” jelas Kakek Cerah dengan penuh semangat.
Pria berpakaian sederhana menyimak dengan wajah serius.
“Jangan putus asa. Setelah 99 kali gagal, kamu jadi tahu apa saja hal-hal yang bisa menyebabkanmu gagal dan tidak mengulanginya lagi,” lanjut Kakek Cerah.
Pria itu langsung tersenyum lebar. “Benar juga ya. Terima kasih, Kakek. Aku tidak boleh putus asa.”
Dengan gembira dia membawa keretanya untuk melanjutkan perjalanan.
Beberapa saat kemudian, pria berpakaian mewah itu kembali setelah membersihkan wajahnya di sungai. Wajahnya terasa lebih segar, tapi hatinya masih sedih.
“Kemana laki-laki tadi?” tanyanya pada Kakek Cerah saat melihat pria berpakaian sederhana sudah tidak ada.
“Dia pergi untuk kembali berdagang,” jawab Kakek Cerah sambil tersenyum.
“Oh ya?” tanya pria berpakaian mewah.
“Iya. Dan seharusnya, melihat semangat laki-laki itu, kau harus malu. Dia saja yang sudah 99 kali gagal, masih tetap bersemangat dan tidak mau berhenti berusaha. Bukankah kau baru sekali gagal pada pengalaman ke-99? Sedangkan sebelumnya kau selalu berhasil?”
Pria berpakaian mewah tertegun. Betul juga. Ia baru sekali gagal pada pengalaman ke-99. Kenapa berputus asa? Bukankah dia punya lebih banyak pengalaman sukses? Dan itu bisa digunakannya agar berhasil pada pengalaman ke-100.
Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Kakek Cerah, pria berpakaian mewah melangkah dengan penuh semangat menuju kereta kudanya. Dengan semangat pula ia membawa kereta kudanya meninggalkan pohon itu.
Kakek Cerah tersenyum. Cahaya jingga matahari sore menyinari pohon di mana Kakek Cerah bersandar di bawahnya. Tak lama, pohon itu menghilang bersama dengan Kakek Cerah.
Kelak, di waktu yang lain, Kakek Cerah akan muncul lagi di tempat yang sama, untuk mengingatkan orang-orang yang berputus asa.
(Dimuat di Majalah Bravo No 33, edisi November 2009)
Sumber image : www.gettyimages.com
6 komentar:
Cerpen yang menarik dengan pesan moral jelas, tanpa perlu menghadirkan karakter anak:)
Saran saya, berhubung tokoh orang (maaf) miskin sudah sering sekali dijadikan protagonis, boleh juga orang kaya tersebut dialihperankan. Dengan demikian pembaca tahu bahwa orang bergolongan ekonomi menengah ke atas pun dapat memberikan teladan yang baik:)
Terima kasih banyak untuk perhatian dan masukannya, Mbak Rini.. :)
Mbak Rae Sitta, salam kenal.
Saya penggemar karya2 Mbak. Yang ini juga udah baca langsung dari majalahnya.
Bunda Altidza (Novi)
-member pba
Salam kenal, Mbak Novi (Bunda Altidza).
Terima kasih. ^_^
Senang bisa ngumpul dan kenalan dengan teman-teman PBA di sini.
salut untuk mba Rae Sita..
aku selalu mengagumi karya-karyamu... ^_^
Terima kasih, Mbak Ida.. Itu juga karena teman-teman PBA memberi banyak pengaruh positif untuk berkarya lebih baik.. :)
Post a Comment