Loading...
Sunday, February 13, 2011

[Dongeng] Pangeran Yang Haus Pujian


Pangeran Yang Haus Pujian
Oleh QS. Emmus

Pangeran Mobius berdiri gagah di kereta kudanya yang merambat pelan. Tangannya membag-bagikan kantung-kantung emas pada rakyatnya. Puluhan pengawal mengikutinya dari belakang bagi parade. Rakyat berebut meraih kantung-kantung emas itu sambil mengelu-elukannya.
“Hidup Pangeran Mobius!”
“Beribu terima kasih, wahai pangeran yang tampan!”
Senyum bangga Pangeran Mobius pun terkembang. “Ah… suara pujian mereka sangat nyaman di telingaku,” gumamnya puas.
Pangeran Mobius bertekad akan lebih sering membagikan kantung emas. Ia sangat menikmati saat-saat dipuja seperti tadi. Kecemasan ayahandanya, Raja Lucius, tidak dipedulikannya.
“Anakku, tak baik boros seperti itu,” nasihat Raja Lucius. “Yang kau lakukan itu bisa merugikan rakyat negeri ini.”
“Ah, rakyat kita baik-baik saja, Ayah!” tukas Pangeran Mobius. Mereka sangat memuja saat kubagi-bagikan emas. Tak ada yang perlu dikhawatirkan!” Pangeran Mobius langsung pergi begitu saja, dan masuk ke kamarnya.
Saat Pengeran Mobius melamun, tiba-tiba masuklah Guru Penasihat Kerjaan. Guru inilah yang mendidiknya selama ini.
“Pangeran, kau belum menceritakan kejadian hari ini padaku,” tegurnya.
“Oh… maaf, Guru. Ayahanda membuatku melupakanmu tadi,” akunya.
Dengan penuh semangat,  ia pun menceritakan kejadian paradenya tadi. Betapa ia sangat gembira saat dipuja-puja rakyatnya.
“Apakah kau mau lagi merasakan kegembiraan tadi?” tanya gurunya tiba-tiba. “Kau bisa pergi malam ini juga!”
Pangeran Mobius terbelalak. “Tapi, aku belum menyiapkan kantung-kantung emas?”
“Tenanglah! Malam ini kita pergi dengan cara yang berbeda!” cetus Guru tersenyum penuh arti.
Rupanya Guru mengajak Pangeran Mobius keluar istana dengan mengenakan pakaian kumal. Mereka lalu pergi ke kota, menyamar sebagai rakyat biasa.
Pangeran Mobius sangat terkejut ketika tiba di kota. Tampak rakyatnya sedang berpesta pora sambil mabuk-mabukan. Mereka bergembira karena tadi mendapat sekantung emas dari pangeran.
Setelah berjalan beberapa langkah, mereka bertemu dengan sepasang suami istri petani yang sedang bertengkar.
“Dasar pemalas! Harusnya kamu bekerja keras dengan emas pemberian Pangeran Mobius. Bukan menghabiskannya untuk mabuk-mabukan begini!” omel istri petani itu. “Payah kamu!”
“Bukan aku yang payah! Tapi Pangeran Mobius yang paling payah! Hanya dengan sedikit pujian, dia sudah terlena. Tak lama lagi dia akan kembali membagi-bagikan kantung emas. Jadi buat apa kita bersusah payah bekerja?” sahut sang suami petani.
Pangeran Mobius terbelalak. Marah dan kecewa. Namun Guru menenangkannya.
Malam pun semakin larut. Namun tak ada penginapan yang mau menerima tamu. Bukan karena penuh! Para pemilik penginapan sudah merasa cukup dengan sekantung emas. Mereka tak mau repot menerima tamu lagi.
Pangeran Mobius dan gurunya terpaksa bermalam di tepi hutan. Di situ ternyata ada beberapa korban perampokan. Mereka tidak mendapat pertolongan karena semua orang sibuk degnan emas. Ada pula buruh-buruh tani yang dipecat. Pemilik-pemilik sawah tak peduli lagi dengan sawahnya setelah mereka mendapat sekantung emas.
“Beginilah nasib kami setelah Pangeran Mobius bagi-bagi emas,” kata seorang kakek bertudung. “Semoga saja Pangeran cepat sadar. Sungguh tak seorang pun yang tulus memujanya karena perbuatannya itu.”
Pangeran Mobius terkejut mendengar perkataan kakek itu. Ia lalu bertanya pada buruh-buruh tani dan korban perampokan. Apakah mereka memuja Pangeran Mobius? Ternyata mereka malah tak suka pada Pangeran Mobius yang telah membuat mereka menderita. Pangeran baru sadar, ia telah merugikan rakyatnya.
“Apakah penyesalanku ini sudah terlambat, Guru?” tanya Pangeran Mobius kemudian.
Guru terseyum sambil menepuk punggung Pangeran. “Terlambat bila kau berputus asa dan tak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya,” sahutnya bijak.
“Tidak terlambat untuk menjadi lebih bijak,” kata kakek tua tadi sambil membuka tudungnya. Tampaklah wajah aslinya.
“Ayahanda, Raja Lucius?!” seru Pangeran Mobius terkejut.
“Hahaha, aku tidak kaget. Tentu Baginda Raja serig keluar istana dengan penyamaran seperti ini! betul-betyul raja yang bijak,” puji Guru.
Raja Lucius terseyum bahagia. “Dulu Guru mengajakku menyamar untuk melihat keadaan kebenaran rakyatku yang sebenarnya. Kini Guru melakukan hal yang sama untuk menyadarkan putaku,” ucapnya. “Lain waktu kita harus pergi bertiga.”
Pangeran Mobius tersenyum. Ia berjanji, akan menjadi pangeran yang tak haus pujian lagi. Ia harus bijakasana seperti ayah dan gurunya.***

*Pernah dimuat di Bobo No.08, 4 Juni 2009.

0 komentar:

 
TOP