Loading...
Wednesday, February 23, 2011

[Tips Penulisan] Mitos Seputar Penulisan Buku Anak

Kukumpulkan dari yang terserak ditinggalkan pengalaman. Pengalaman teman-teman mungkin membuktikan sebaliknya, tak apa. Ini cuma soal apa yang kita percayai masing-masing. Aku hanya ingin membebaskan diri dari premis yang membatasi ruang gerak dalam menulis.

A. Menulis untuk anak itu mudah.
Anggapan itu keliru jika didasari alasan bahwa buku anak hanya membutuhkan sedikit teks dan tema sederhana. Keunikan dunia dan cara pandang anak justru membuat bidang garapan ini begitu luas untuk diekplorasi.

B. Menulis untuk anak itu sulit.
Anggapan ini juga keliru jika hanya didasari alasan bahwa perlu tanggung jawab moral lebih besar dalam menulis untuk anak. Setiap penulis yang bermoral tentunya akan menghasilkan karya bermoral tanpa memaksakan diri menyelipkan pesan moral.

C. Buku anak harus ditulis dengan kosa kata terbatas.
Tidak seperti itu. Menurutku, buku anak ditulis dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami, tetapi kosa kata baru justru perlu ditambahkan untuk mengayakan perbendaharaan anak. Mungkin yang perlu dibatasi adalah kerumitan tema dan konsep (serta plot, terutama bagi pembaca di bawah 10 tahun).

D. Harus ada pesan moral yang jelas atau kental dalam cerita anak.
Tidak selalu. Ada kalanya anak-anak perlu membaca untuk kesenangan saja. Kalaupun dirasa perlu menyisipkan pesan moral, sebaiknya dibuat samar melalui perubahan sikap logis tokoh cerita.

E. Harus ada tokoh panutan (orangtua/guru) yang selalu benar dan dijadikan rujukan.
Jika mau jujur, orangtua dan guru juga bisa salah, dan anak-anak ada kalanya menemukan sendiri jawabannya. Pengakuan kelemahan dan kekurangan orang dewasa memberikan pelajaran bagus tanpa harus berceramah.

F. Anak-anak tidak tahu apa-apa.
Kita akan terkejut melihat faktanya.

G. Anak-anak perlu dibuatkan inti sari moral cerita.
Salah besar. Mereka belajar banyak justru dari menarik kesimpulan sendiri.

H. Harus selalu ada tokoh jahat.
Tidak selalu. Buku yang baik bisa mengolah konflik harian yang biasa dihadapi anak-anak menjadi kisah seru. Sekalipun konflik itu hanya dengan hati nuraninya.

I. Tokoh antagonis (jahat) di akhir cerita harus menyadari kesalahannya dan/atau mendapatkan hukuman setimpal. Sebaliknya tokoh protagonis (baik) selalu mendapatkan keberuntungan sebagai imbalan yang layak untuk perbuatannya.
Di dunia nyata, yang demikian tidak selalu terjadi. Dalam agama, setiap perbuatan memang ada ganjarannya, tapi itu bisa terjadi di dunia ataupun tertunda di akhirat. Memberikan konsekuensi logis di dunia yang proporsional dengan perbuatan akan lebih masuk akal dan memudahkan pemahaman anak.

J. Kelicikan identik dengan kecerdikan.
Tidak sama sekali.

K. Anak-anak perlu dijauhkan dari tema-tema gelap, seperti perpisahan, perceraian, kematian, dll.
Pengenalan terhadap “penderitaan/kesedihan” itu perlu, karena tanpa bisa dicegah anak akan terpapar masalah-masalah itu baik melalui televisi ataupun pengalaman sendiri. Bersikap jujur dan menawarkan harapan atau solusi adalah yang terbaik yang bisa diberikan penulis.

L. Bahasa gaul lebih mudah dipahami anak ketimbang bahasa baku.
Ini berangkat dari anggapan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar identik dengan kekakuan. Padahal kekakuan muncul dari kalimat-kalimat yang tidak efektif atau hambur kata, bukan dari bahasa baku. Ketika sebuah cerita ditulis dengan bahasa yang baik dan benar, keterbacaan justru tinggi, dan anak akan diuntungkan dengan mengenal bahasa buku (bahasa tulisan). Bahasa gaul adalah bahasa lisan, yang jelas terbatas penggunaannya.

M. Stereotipe tak bisa dihindari. Ibu tiri jahat, perawat perempuan, karnivora kejam, si miskin berbudi, si kaya angkuh, dst.
Penulisan kreatif mampu menampilkan karakter-karakter tidak biasa, melawan sterotipe. Bersedekah tidak harus selalu pada pengemis, misalnya, karena ada kalangan lain yang tidak meminta tapi justru lebih layak menerima bantuan. Sebaliknya, pemberi sedekah juga tidak harus diilustrasikan kaya raya.

N. Sudut pandang cerita harus dari tokoh protagonis.
Tidak juga. Jajaki kemungkinan menokohutamakan anak-anak “bandel”.

O. Cerita harus hitam dan putih: tokoh protagonis tiada cela, sebaliknya tokoh antagonis tiada kebaikan sedikit pun.
Ini tidak manusiawi.

 Ada yang mau menambahkan?


Semoga bermanfaat
Ary Nilandari

0 komentar:

 
TOP