Loading...
Sunday, March 13, 2011

[Cerpen] Tolong Bebaskan Aku...

TOLONG, BEBASKAN AKU…
Oleh: Palris Jaya

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Teman-temanku berhamburan keluar kelas. Dengan langkah gontai aku pun meninggalkan kelas. Hari ini aku malas pulang ke rumah. Aku teringat omelan Mama tadi pagi. Mama marah kerena aku kemarin telah membeli sebuah tas ransel trendi tanpa sepengetahuan Mama. Padahal aku membeli dengan uang tabunganku sendiri. Apalagi teman-temanku sudah banyak yang memakasi tas ransel itu. Uh!

Aku memutuskan untuk datang ke rumah Tante Mo saja. Jaraknya memang agak jauh, di pinggiran kota. Tapi hari ini aku tidak mau pulang. Biar saja Bik Narti keriting menunggu aku makan siang. Biar saja Mama kelimpungan mencariku.

Hup! Aku melompat ke sebuah bus besar jurusan rumah Tante Mo. Aku sudah hapal jalannya. Sebab, aku sudah beberapa kali datang ke rumah Tante Mo.

Sesampai di rumah Tante Mo, suasana sepi. Tentu saja, Tante Mo belum pulang dari kantornya. Tante Mo bekerja di kantor majalah anak-anak terkenal. Tante Mo juga seorang pengarang. Semua pintu dan jendela rumah Tante Mo terkunci. Rumah besar dan tua itu sepi. Aku tahu dari Mama kalau rumah itu peninggalan jaman Belanda. Mama meminta Tante Mo menempatinya setelah Nenek meninggal.

Aku tahu kedatanganku tidak tepat. Tapi untuk pulang ke rumah? Uh, maaf saja! Biar kutunggu Tante Mo sampai pulang. Ah, tiba-tiba aku ingat pintu gudang yang tidak terkunci rapat. Tante Mo selalu lupa untuk memperbaiki kuncinya yang rusak. Mudah-mudahan keadaannya masih demikian. Jadi aku bisa menunggu Tante Mo di gudang saja.

Ternyata harapanku terkabulkan. Setelah menggoyang-goyangkan pintunya beberapa kali, akhirnya pintu gudang terbuka. Udara sedikit pengap. Aku membuka jendela kecil. Udara segar masuk dan gudang lumayan terang.

Di sudut gudang terdapat tumpukan-tumpukan kardus, entah apa isinya. Di pojok lain ada kursi-kursi tua dan rusak, seperangkat sofa usang, meja belajar bekas, ditumpuk rapi. Di sisi lainnya terdapat sebuah lemari besar tua. Aku bergegas ke sana. Membuka kedua pintunya lebar-lebar. Jejeran buku-buku yang tersusun rapi menyambutku. Ini yang aku cari. Jadi aku bisa membaca sambil menunggu Tante Mo pulang.

Semua buku-buku itu koleksi Tante Mo. Tentu Tante Mo tidak akan tega meloakkan buku-buku lama itu. Aku mengambil sebuah buku cerita petualangan. Kemudian duduk di sofa. Debu beterbangan. Aku menutup hidung dan bersin. Setelah itu aku hanyut ke dalam kisah petualangan dalam buku. Tanpa sadar aku pun tertidur.

Aku terbangun ketika hari menjelang senja. Cahaya matahari redup masuk gudang. Terhalang pepohonan.

“Sudah bangun rupanya,” ujar seseorang. Membuat aku terkejut. Seorang anak perempuan menatapku sambil tersenyum ramah. Di tangannya ada sebuah buku cerita. Siapa dia? Aku heran karena di rumah Tante Mo tidak ada anak kecil.

“Siapa kamu?” tanyaku. Anak itu tersenyum dulu sebelum menjawab.

“Nina, pemilik gudang ini. Dan kamu memasuki tanpa ijin!” katanya sambil merapikan rambutnya yang ikal tidak beraturan. Aku melongo. Bukankah gudang yang aku masuki ini punya Tante Mo? Kenapa anak ini berani mengatakan miliknya?

“Gudang ini punya Tante Mo. Aku bebas masuk sambil menunggu Tante Mo pulang!” ujarku ketus.

“Kamu anak yang keras kepala, ternyata. Kamu minggat, ya?”

Aku melotot menatap anak asing itu.

“Buktinya kamu masih pakai seragam sekolah,” lanjutnya lagi.

“Ya, aku sedang marahan dengan Mama,” jawabku pendek.

“Tidak baik ngambek sampai minggat segala. Nanti kamu akan menyesal seperti aku.”

“Apa urusanmu?” kataku marah.

“Dulu aku pun pernah marah sama Mama. Mama melupakan ulang tahunku. Aku pura-pura minggat dengan sembunyi di gudang ini. Aku tahu gudang ini ada ruang bawah tanahnya. Aku masuk dengan membawa buku harian. Aku mengunci dari dalam. Aku senang membayangkan Mama akan bingung mencariku. Tapi lama-lama aku menyesal bila ingat Mama mengkhawatirkan aku.

“Aku ingin keluar. Tapi tidak bisa, sebab aku lupa membawa kuncinya. Aku terkurung di ruang bawah tanah karena ulahku sendiri. Selama bertahun-tahun. Aku butuh bantuanmu, tolong bebaskan aku….”

Aku menatap Nina dengan ngeri. Matanya menjadi sendu. Wajahnya terlihat pucat. Nina terus menatapku aneh. Aku pun menghambur keluar gudang ketakutan. Ternyata Nina itu….

Di halaman aku melihat mobil Tante Mo berhenti. Ufh, syukurlah, Tante Mo pulang.

“Tante, antarkan Karin pulang,” ujarku memeluk Tante Mo.

“Aduh, Karin, kamu bikin Mama kamu cemas dan sedih. Mamamu menyuruh Tante mencari kamu. Mama kamu menangis terus,” kata Tante Mo.

“Iya, antarkan Karin pulang. Karin mau minta maaf,” kataku sungguh-sungguh.

“Tante, tadi di gudang Karin bertemu Nina. Dia terkurung di ruang bawah tanah selama bertahun-tahun. Jadi Nina sudah jadi hantu. Tapi dia minta dibebaskan,” ceritaku. Tante Mo tertawa.

“Oh, jadi karena itu kamu minta pulang? Nina berhasil membuat kamu takut, ya? Si Nina itu memang senang berkhayal. Dia anak Pak Jamal, tetangga Tante,” jelas Tante Mo sambil terus tertawa.

Mobil Tante Mo mulai berjalan. Aku menoleh ke belakang. Di bawah pohon rambutan aku melihat Nina melambaikan tangannya kepadaku. Dia tersenyum jahil. Uh, sebal!

(Juara 2 Lomba Mengarang Cerpen Misteri Majalah Bobo, tahun 2001)

0 komentar:

 
TOP