Menulis untuk Anak
by, Ary Nilandari
Pertanyaan dan komentar seperti itu biasa muncul di antara kita. Jelas menunjukkan bahwa kita tidak mempunyai referensi baku untuk dijadikan pegangan, dan selalu dihadapkan pada kasus-kasus baru. Belum lagi setiap editor dan penerbit mempunyai standar berbeda. Penulis sering bimbang dan khawatir kalau bukunya yang berlabel untuk anak ternyata tidak cocok untuk anak. Reaksi spontan orangtua terhadap salah satu aspek buku, baik tema, bahasa, ilustrasi ataupun kemasan, biasanya malah menimbulkan kejerian menyeluruh dalam menciptakan buku untuk anak. Maklumlah, orangtua sering mengungkapkan kritik tidak secara spesifik. Buku itu jelek. Buku itu sampah. Tidak cocok untuk anak-anak. Dst. (Padahal, bisa jadi, buku yang dibelinya memang bukan untuk anak-anak...hehehe).
Tapi jangan salahkan konsumen. Mereka jujur dan ingin mendapatkan yang terbaik dari uang yang mereka keluarkan. Bukan salah orangtua juga kalau mereka sulit memilih buku yang cocok untuk anak. Karena buku dibeli dalam keadaan bersegel dan tak ada label target pembaca yang jelas. (Dalam hal ini, FPBA sudah mulai melakukan sharing dengan orangtua tentang kriteria buku anak yang baik, dan menghimbau penerbit untuk mencantumkan label target pembaca).
Lalu bagaimana kita sendiri, sebagai penulis, menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Bagaimana kita bisa menulis dengan penuh percaya diri bahwa naskah kita cocok untuk target pembaca yang kita pilih?
Menulis secara umum adalah proses yang menantang; menulis untuk anak bahkan lebih menantang lagi. (Menantang adalah kata untuk yang optimis; sulit itu kata untuk yang pesimis. Kuharap PaBers termasuk yang pertama).
Secara umum, kita selalu membagi target pembaca menjadi tiga: anak, remaja, dewasa. Untuk remaja dan dewasa, pengelompokan seperti itu tidak jadi masalah. Tapi untuk anak, generalisasi inilah yang menjadi akar permasalahan.
- katanya untuk anak, tetapi teks-nya kok banyak benar dalam satu halaman
- katanya untuk anak, tapi konfliknya terlalu rumit, bahasanya terlalu dewasa.
- katanya untuk anak, tapi ada kata-kata "memukul", "tewas", "membunuh", "darah".
- dst.
Kita sebagai penulis, secara defensif, biasanya akan bertanya balik, "Berapa usia anak Ibu?", "Yah, memang buku saya untuk anak lebih besar kok, Bu."
That's the point. Age appropriate. Target pembaca anak tidak bisa digeneralisasi. Usia 0-13 tahun semuanya disebut anak. Tapi untuk urusan buku bacaan, untuk urusan menulis buku bagi mereka, setiap tahapan usia memiliki aturan, proses, dan kiat tersendiri.
Tema, bahasa, kosa kata, ilustrasi, kemasan, untuk buku anak harus age appropriate. Setidaknya 0-13 tahun itu terbagi menjadi 5-6 kelompok. (Banyak pakar perkembangan anak membuat klasifikasi yang kurang lebih sama, biasanya overlap).
Misalnya:
0-2 th (bayi-batita)
3-4 th (balita/prasekolah)
5-6 th (TK)
6-8 th (SD kelas 1-2)
8-10 th (SD kelas 3-4)
11-13 th (SD kelas 5-6, SMP kelas 1)
Pembagian di atas menyebabkan buku-buku yang ditulis untuk mereka juga sangat spesifik dalam bentuk, bahan, tema, jumlah kata dalam satu kalimat, jumlah kalimat dalam satu halaman, jumlah teks/halaman dalam satu buku.
Maka muncullah aneka board book, flap book, pop-up book, yang sering tanpa teks, untuk bayi-balita. Lalu picture book yang menonjolkan visual ketimbang teks, untuk balita-TK. Selanjutnya untuk SD kelas awal, buku dengan lebih banyak teks, yang sering disebut chapter book, transition book, first novel, atau middle grade novel. Dan terakhir untuk SD kelas atas, adalah young adult novel, preteens novel.
Nah, jika kita menulis begitu saja tanpa memperhatikan untuk siapa buku itu, pastilah muncul kebingungan seperti di atas. Sebaliknya, jika kita menentukan target pembaca lebih dulu, kita akan mempelajari lebih jauh tingkat perkembangan kelompok usia tersebut. Banyak referensi akan membantu kita untuk lebih percaya diri, menuliskan apa yang cocok buat mereka.
Setidaknya itulah panduan dasar kita. Sebagian besar permasalahan ketidakcocokan buku dengan target pembaca, bisa teratasi, dari sisi penulis. Tinggal kita mengajak penerbit untuk mencantumkan dengan jelas target pembaca kita agar buku sampai pada sasaran.
Aku katakan sebagian besar permasalahan. Hehehe, berarti, kita masih mungkin menghadapi tantangan lain mengenai kecocokan buku dengan target pembaca.
Pembagian usia di atas sebetulnya universal. Di negara-negara maju, pembagian usia/grade biasanya berbanding lurus dengan kemampuan membaca anak. Kalau kita menulis chapter book, misalnya, otomatis segmen pembaca kita tak jauh-jauh dari usia 6-8 tahun. Bahkan jika buku kita fenomenal, kelompok usia di bawah dan di atasnya akan ikut membacanya.
Agak berbeda kasusnya dengan di negara kita. Akibat budaya baca yang masih rendah di Indonesia, pembagian usia/kelas di atas belum diimbangi dengan kegemaran/keterampilan baca sepadan.
Misalnya anak-anak 6-8 tahun masih gagap dengan chapter book. Lebih mudah menerima picture book.Yang aku maksud dengan gagap, bukan karena dia belum bisa membaca, tapi lebih karena dia tidak terbiasa membaca/dibacakan. Anak-anak yang belum bisa membaca pun, bisa gemar membaca dan memahami apa saja yang dibacakan orangtuanya.
Menanggapi inilah, banyak picture book dikawinkan dengan teks padat, dengan tema lebih beragam. Atau chapter book dibuat dengan bahasa yang sangat sangat sederhana, sehingga terkesan untuk balita bagi sebagian orangtua. Atau banyak pula buku anak yang sengaja ditulis untuk dibacakan orangtua kepada anak, jadi tak ada batasan kosa kata maupun jumlah kata.
Semuanya sah-sah saja. Hanya memang membuat keragaman buku anak di Indonesia semakin banyak dan terkesan acak-acakan, tidak terkendali. Semakin menyulitkan orangtua memilih, semakin menantang penulis untuk menyajikan buku yang berterima luas.
Wuiiih... asyik ya jadi penulis buku anak... tantangannya banyak...
Bersambung....
Salam kreatif,
Ary Nilandari
Sumber image : http://ratihkumala.com
0 komentar:
Post a Comment