Loading...
Sunday, March 4, 2012

[Cerpen] Menjadi Anak yang Baik

Mencoba Menjadi Anak Baik
Anisa Widiyarti

"Iwan, kembalikan sepatuku, dong!" teriak Meta sambil menangis.
Aku semakin senang berlarian sambil membawa sebelah sepatunya. Huh, salah sendiri suka pamer! Pakai mengatai sepatuku lagi. Biar saja dia rasakan, bagaimana kalau sepatu barunya ini kubuang.
Aku berhasil melempar sepatu Meta ke luar pintu gerbang sekolah. Sayangnya, sepatu itu tak sempat terlindas mobil. Ini karena Pak Ujang cepat-cepat membuka pintu gerbang dan mengambilkannya.
"Ini sepatunya," ucap Pak Ujang sambil memberikan sepatu kepada Meta.
Huh, dasar! Kalau yang kulempar tadi sepatu si Toto yang bapaknya tukang ojeg, belum tentu ia mau mengambilkan.
"Kamu ini nakal banget, sih!" bentak Pak Ujang kepadaku. Tapi tak kuhiraukan omelan Pak Ujang. Aku langsung ngeloyor ke kelas meninggalkan mereka.
Saat jam pelajaran dimulai, aku dipanggil ke depan kelas oleh Bu Guru. Seperti yang kuduga, aku pasti akan dimarahi.
"Meta duluan, Bu. Dia menghina sepatu saya," ucapku membela diri.
Setelah mendengar ceritaku, Bu Guru menyuruhku bersalaman dengan Meta. Kami harus saling memaafkan, begitu kata Bu Guru.
Aku kira, masalah dengan sepatu Meta sudah selesai. Tapi ternyata tidak. Saat jam istirahat, aku dipanggil ke ruang guru. Ternyata, ibu sudah menunggu di sana.
Ibu menatapku dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Selalu seperti itu. Ibu tidak pernah marah. Padahal, aku lebih suka kalau ibu marah. Daripada melihat ibu sedih, apalagi kalau sampai menangis.
Ibu diberitahu tentang kelakuan nakalku di sekolah. Aku juga dinasehati oleh Bu Guru. Huh, aku kesal! Kenapa harus memberitahu ibu, sih?
Saat keluar ruangan, ibu berbicara sebentar kepadaku. "Iwan sayang Ibu, kan? Cobalah menjadi anak yang baik," ucap ibu sambil membelai rambutku.
Aku mengangguk. Lalu berjalan dengan gontai menuju kantin. Semua masalah ini membuatku lapar. Aku mengambil sebungkus roti dan satu teh gelas dingin. Hampir saja aku tak membayar, seperti yang biasanya kulakukan. Kalau saja aku tidak ingat ucapan ibu tadi.
Dengan enggan kuberikan uang Rp. 2.000,-. Bu kantin agak bingung melihatku membayar. Eh, apa jangan-jangan dia tahu ya, kalau selama ini aku suka mencuri? Entah kenapa, tapi roti yang kumakan kali ini terasa lebih enak dari yang biasa. Aku sangat menikmatinya. Aku menyempatkan membeli satu permen gagang. Kali ini aku membeli, bukan mengambil.
Saat pulang sekolah, seperti biasa aku naik angkot. Aku ingin cepat-cepat pulang. Agar hari yang tak menyenangkan ini cepat berakhir.
Dengan santai, kurogoh saku celana.
Oh, tidak! Kenapa cuma ada lima ratus? Aku ingat-ingat lagi apa saja yang sudah kubeli. Roti, teh gelas, permen, semuanya dua ribu lima ratus. Ongkos tadi pagi Rp. 1.000,-. Harusnya masih ada Rp. 1.500,- lagi.
Oh, iya. Aku lupa. Tadi pagi, aku sudah membeli satu teh gelas. Karena kantin masih sepi, jadi aku membayar tadi.
Uh, benarkan? Jadi anak baik itu tidak menyenangkan.
Aku perhatikan satu persatu penumpang. Berharap salah satu dari mereka ada yang menjatuhkan uang Rp. 500,- untuk menambahkan uangku. Satu demi satu penumpang turun, tapi tak ada satu pun yang menjatuhkan uang.
Kini, penumpang yang tersisa tinggal aku dan seorang ibu tua. Kalau nanti aku tetap tak mendapat uang itu, aku akan langsung berlari saja saat turun dari angkot. Biar saja aku jadi anak nakal lagi.
Si ibu di depanku sudah bersiap turun. Ia mengambil sejumlah uang dan menggeser duduknya.
Hey, ada uang yang jatuh!
Aku girang bukan main. Tapi... itu bukan uang Rp. 500,-, itu selembar uang seratus ribu. Wah, aku bisa beli pistol-pistolan pakai uang itu!
Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja perkataan ibu di sekolah tadi kembali terngiang.
"Kiri, Pak..." ucap si ibu.
Aku masih bingung. Apa yang harus kulakukan?
"Ibu," ucapku tertahan. "Uangnya jatuh.” Aku memberikan uang yang tadi.
"Terima kasih ya, Nak. Kamu baik sekali," ucap si ibu dengan senang. Entah kenapa, aku pun ikut senang. Padahal, uang itu tidak jadi aku ambil. Biarlah uang itu aku kembalikan. Siapa tahu ibu itu sangat memerlukannya. Nanti, biar aku minta maaf pada pak sopir, karena bayaranku kurang.
"Kiri, Pak." Aku langsung turun dari angkot. Saat hendak meminta maaf, tiba-tiba pak sopir berkata,
"Nggak usah bayar, Dek. Udah dibayarin sama ibu yang tadi."
Aku tersenyum lega mendengarnya. Ternyata, jadi anak baik itu menyenangkan juga, ya? Kalau begitu, aku akan mencoba menjadi anak yang baik lagi besok. Semoga saja aku benar-benar bisa menjadi anak yang baik dan tidak nakal lagi.[]

Dimuat di Kompas Anak edisi 23 Oktober 2011
Image : istockphoto.com


1 komentar:

rika daniel said...

sebelumnya udah baca di Kompas, skrg pengen baca lagi, bagus :)

 
TOP