Loading...
Wednesday, February 16, 2011

[Info] Bagaimana Buku-Anak yang Baik menurut Orangtua?

Kriteria Buku-Anak yang Baik versi Orangtua.

Untuk menentukan kriteria buku-anak yang baik, paling mudah adalah dengan membuat daftar keluhan. Buku anak yang baik, menurut orangtua, adalah yang lolos saringan empat kriteria di bawah ini. Kriteria ini disusun subjektif berdasarkan pengalaman saya sebagai penikmat buku anak dan ibu dari tiga putra yang semuanya suka buku, ditambah masukan dari teman-teman FPBA. Karena subjektif, bisa saja ada pendapat dan pertimbangan yang berbeda. Silakan.

1.Fisik

a.Jenis kertas dan penjilidan
Untuk mengejar harga murah sering penerbit menggunakan kertas berkualitas rendah (tipis dan mudah robek). Padahal anak-anak adalah pembaca yang bersemangat, membuka halaman dengan sekuat tenaga, berebut buku dengan saudara, membawanya tidur bareng, bahkan secara harfiah memakan buku. Buku anak tipis umumnya distaple, sementara yang tebal dilem atau dijahit. Sering bahkan tanpa perlakuan "kasar" anak pun, jilidan mudah terlepas karena lem tidak kuat atau kertas robek pada jahitannya. Buku anak seharusnya dirancang tahanbanting, tahanludah, tahan- dibaca- setidaknya-puluhan-kali.

b.Target pembaca
Pencantuman target pembaca di cover belakang sudah dilakukan beberapa penerbit pada beberapa jenis buku. Tapi masih banyak buku yang tidak berlabel. Ditambah kemasan plastik segel, semakin sulitlah orangtua memilihkan buku bagi anak dengan usia berbeda-beda apalagi membebaskan anak memilih sendiri. Idealnya, untuk mengembangkan keterampilan membuat keputusan, anak-anak dibiarkan memilih
sendiri buku dan menghadapi konsekuensinya. Di luar negeri, anak memilih buku sendiri, sudah biasa. Tapi di Indonesia, hal ini belum membudaya. Urusan belanja masih jadi wewenang sepenuhnya kebanyakan orangtua. Dari sisi penerbit, keadaan ini menyebabkan buku anak dibuat semenarik mungkin dari sudut pandang orangtua juga. Bagi orangtua yang sudah memberikan hak memilih kepada anak, tidak adanya label usia pada buku ini justru membuat frustrasi. Banjir buku di toko buku yang tidak semuanya aman bagi anak membuat mereka lagi-lagi harus "merecoki" pilihan anak. Menurut saya, kalau penerbit dan toko buku bekerja sama membuat zona buku aman untuk anak, atau melabeli semua buku anak dengan target usia spesifik, akan
semakin banyak orangtua menyerahkan keputusan memilih buku kepada anak mereka.

c.Warna
Daya tarik buku anak terutama terletak pada ilustrasi dan warna. Untuk mengejar harga murah, lagi-lagi, dikorbankanlah daya tarik visual ini. Cover buku bisa jadi colorful, tapi isi di dalamnya hitam putih dan membuat anak kecewa. 


d.Harga
Buku bagus identik dengan harga yang relatif mahal. Bisa dimaklumi. Tapi untuk buku anak, ini menyedihkan. Nasib bangsa kita di masa depan terletak di tangan-tangan mungil ini. Penulis dan orangtua bekerja keras menyediakan bahan bacaan bermutu bagi mereka. Sebagian penerbit mungkin sudah mengurangi
keuntungan untuk menekan harga buku. Bagaimana dengan distributor? Atau lebih ke hulu lagi, bagaimana dengan produsen kertas dan tinta? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana dengan pihak yang berwenang mengeluarkan kebijakan dalam dunia pendidikan? Dan bagaimana dengan pembebasan pajak dari hulu ke hilir dalam pengadaan bacaan bermutu untuk anak, agar terjangkau segala kalangan?

2.Ilustrasi

a.Daya tarik
Ilustrasi adalah aspek pertama yang dilihat anak (dan orangtua) ketika memilih buku. Bagaimanapun gayanya, medianya, prosesnya, ilustrasi untuk buku anak seharusnya pro anak. Merangsang kecerdasan dan memperkaya pengalaman visual mereka. Membantu mereka memahami isi buku. Membangkitkan imajinasi dan kreativitas mereka.

b.Pertimbangan normatif
Ilustrasi seharusnya tidak mempertontonkan hal-hal yang lazimnya tidak didukung orangtua, misalnya, merokok, berpakaian seksi, adegan ciuman, kekerasan, penggambaran tokoh mengerikan secara berlebihan.
Ilustrasi juga perlu disesuaikan dengan target pembaca dalam tingkat kompleksitasnya.

c.Bercerita
Ilustrasi ada untuk ikut bercerita, bukan sekadar pelengkap atau penerjemah teks. Saya menyebut ilustrasi yang menerjemahkan kata-kata saja sebagai pembeo. Jika teks menyatakan: "Ali sedang makan ditemani kucingnya," maka ilustrasi diharapkan tidak hanya menggambarkan anak lelaki sedang makan, dan di sebelahnya ada seekor kucing sedang duduk pasif. Ilustrator bekerja sama dengan penulis membuat pengayaan visual yang tidak tersampaikan oleh teks. Misalnya, kapan Ali makan bisa digambarkan dengan bulan purnama di jendela, yang artinya malam hari. Ibu bisa digambarkan sedang menghangatkan sayur di latar belakang. Si kucing sedang memainkan ekornya, atau mengamati barisan semut di meja, atau menunggu
Ali melemparkan makanan di kolong meja. Banyak hal menarik bisa diperoleh anak dari ilustrasi yang bercerita. Ketika ilustrasi sudah bercerita, sebaliknya, banyak teks yang tidak perlu bisa dihapus, sehingga penyampaian tidak ganda dan membosankan. Dan penulis mendapatkan ruang tambahan untuk mengungkapkan hal lain yang memperkuat karakterisasi.

3.Isi

a.Tema
Tema disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan target pembaca. Kalaupun tema dewasa, seperti perceraian, perang, digunakan dalam buku anak, penyampaiannya harus memerhatikan sudut pandang anak dan tingkat kematangan mereka. Buku berfungsi membantu anak memahami dunia di sekelilingnya.

b.Penyampaian

-Penyampaian yang menggurui dan menganggap anak-anak bodoh/tidak tahu apa-apa biasanya membuat anak bosan dan kesal.

-Kalimat hambur kata lebih sulit dipahami ketimbang kalimat efektif (berlaku untuk semua usia).
Misalnya:
Andi adalah salah satu anggota kelompok yang memegang balon berwarna biru.(tidak efektif)
Andi anggota kelompok pemegang balon biru.(efektif)

-Ada saja penulis yang "gatal" ingin menuliskan pesan moralnya secara eksplisit karena khawatir anak tidak mengerti. Tetapi percayalah, kesimpulan dan pesan moral yang dibuatkan penulis membuat jengkel orangtua yang membacakan, juga tidak merangsang daya pikir anak.

c.Pertimbangan normatif

-Kenakalan dan keusilan tokoh sering diperlukan untuk menimbulkan konflik atau kelucuan cerita. Tetapi ketika kenakalan dan keusilan dibiarkan tanpa konsekuensi tersirat maupun tersurat, dan pelakunya bahkan dijadikan pahlawan, pesan yang diterima anak menjadi negatif. Sebagai contoh, tokoh utama dalam seri
Captain Underpant mencuri video bukti kenakalannya dari kantor kepala sekolah, dan dia lolos begitu saja. Mencuri tetap mencuri, tidak seharusnya dijadikan solusi. Demikian juga berbohong dan merahasiakan sesuatu dari orangtua. Anak biasanya senang bercerita kepada orangtua tentang pengalamannya, tapi ketika ada teladan/suruhan, "Ssst, jangan bilang-bilang Mama kamu," tanpa alasan logis, dan si tokoh menurut saja "berbohong" kepada orangtuanya demi rahasia itu, pesan apakah yang akan mereka terima dari cerita ini? Anak saya (5th) pernah mengomentari kalimat seperti itu, "Kenapa tidak boleh bilang Mama? Bilang juga
nggak papa kan?"

-Menjadikan orangtua sebagai sosok dewa yang boleh berbuat apa saja dengan alasan mendidik anak (termasuk berbohong dan memberikan hukuman sewenang-wenang), kecuali jika dalam cerita akhirnya orangtua seperti ini sadar dan meminta maaf.

-Mengandung prasangka, SARA, stereotipe.

-Cerita tidak menarik, klise, mudah ditebak, tidak jelas.

-Cerita mendukung hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma universal lainnya.

4.Bahasa

a.Kosa kata
Kadang bahasa sederhana diidentikkan dengan sedikit kosa kata. Sedikit kosa kata sebetulnya tidak masalah. Tetapi kalau sedikit berarti miskin, menggunakan kosa kata itu-itu saja, maka buku tidak mendukung perkembangan bahasa anak. Anak yang terbiasa mendapatkan bacaan yang kurang mengembangkan kosa katanya akan tumbuh menjadi orang yang "gentar" berbicara, minder menghadapi lawan bicara yang seolah "menelan kamus". Dan bacaan yang kurang menantang juga bisa meredupkan kegairahan membaca.

b.Bahasa buku
Bahasa buku sebetulnya identik dengan bahasa baku. Bahasa baku mengajarkan logika bahasa dan mengasah rasa kebahasaan pembaca.Tetapi sejalan waktu, muncullah bahasa gaul, dan mendadak bahasa baku disamakan dengan bahasa kaku. Padahal bahasa baku seharusnya tidak kaku. Yang kaku dan tidak enak dibaca adalah bahasa yang tidak efektif, berbelit-belit, bahkan salah diksi. Sayangnya salah kaprah ini tidak disadari, dan banyak buku menggunakan bahasa gaul bahkan untuk narasi. Bahasa gaul seharusnya hanya boleh ada dalam dialog (kutipan). Maraknya penggunaan bahasa gaul yang tidak pada tempatnya membuat anak-anak dan remaja kita tak bisa lagi berbahasa dengan baik dalam situasi formal.

c.Pertimbangan normatif
-Mengandung makian, kata-kata kasar atau tidak pantas.

d.Logika bahasa
-Kalimat yang tidak mengikuti kaidah kebahasaan atau logika, bisa menimbulkan kerancuan makna. Bahkan anak-anak kecil bisa merasakan kalimat yang aneh bunyinya, atau sulit dipahami karena tidak lengkap.
Contoh:
Sebenarnya Tito takut, tapi Tito kan anak pemberani, tidak takut apa pun.
Anak saya bingung menemukan kalimat itu. "Mana yang benar?" tanyanya. Tito takut atau tidak takut apa pun?
Mungkin kalau diedit sedikit, kalimatnya akan lebih mudah dipahami. Misalnya:
Tito merasa takut, tapi dia memberanikan diri.

Penutup
Sementara ini, bagi orangtua, kriteria terpenting dalam membantu memilihkan buku anak adalah ilustrasi dan isi. Keadaan fisik mungkin bisa diabaikan, apa boleh buat, ilustrasinya keren sih, dan isinya oke. Kriteria terakhir, soal bahasa, mungkin juga dibaikan, karena orangtua kadang tidak punya pilihan lain, atau bisa menyunting dan menyensor sendiri ketika membacakannya kepada anak. Dalam kasus ekstrem, orangtua menyimpan saja dulu buku yang kepalang sudah dibeli tetapi ternyata "tidak layak" untuk anak.

Akan tetapi, apakah kita (penulis, ilustrator, editor, penerbit) bisa berpuas diri pada keadaan ini? Apakah tidak sebaiknya semua kriteria di atas dipenuhi, dan benar-benar kita menyuguhkan bacaan yang baik?

Khusus untuk buku anak, tampaknya penulis, ilustrator, editor, penerbit, harus bekerja sama dengan lebih efektif dan tidak terburu-buru demi menghasilkan buku anak bermutu, aman bagi anak-anak yang menjadi target pembaca. Orangtua akan rela melepaskan anak memilih buku sendiri ketika situasinya memang aman. Sama saja pada situasi jalan yang aman, anak akan dilepaskan menyeberang sendiri, demi kemandirian mereka, demi tercapainya tujuan mereka.


Salam kreatif,
Ary
moderator PBA
www.arynsis.multiply.com

0 komentar:

 
TOP